Siswa SMAN 1 Kota Gajah Korban Akreditasi Sekolah
INTAILAMPUNG.COM – Kepala Sekolah (Kepsek) SMAN 1 Kota Gajah Dasyo berdalih bahwa iuran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan Dana Pengembangan Pendidikan (DPP), yang dibebankan kepada Wali Murit untuk mempertahankan akreditasi B sekolah.
Meski ada wali murid yang merasa keberatan dalam penerapan kebijakan sekolah, yang membebankan biaya SPP hingga Rp 210.000 dan uang DPP sebesar Rp585.000 persiswa. Ditengah pandemik Covid19.
Pihak sekolah tidak bisa merevisi kebijakan besaran biaya yang di bebankan tersebut. Melainkan hanya bisa membebaskan angsuran selama April-Mei 2020.
“Selama Corona, tidak diwajibkan membayar angsuran SPP dan DPP selama musim ini. Kata Pak Kepala Dinas Sulpakar mulai April-Mei, sampai ada informasih lebih lanjut,” ucap Dasiyo.
Dasiyo berdalih, bahwa masalah besaran biaya sudah disepakati dalam rapat komite bersama wali murid. Jadi hanya bisa saat dalam kondisi pandemi covid-19.
“Kebijakan sudah sesuai rapat komite dan kebijakan setiap sekolah berbeda. SPP dan DPP ini juga untuk mempertahankan akreditasi B sekolah,” akunya.
Saat ditanya peruntukan uang SPP dan DPP kegunaannya untuk apa ?
Dasio tidak bisa menerangkannya. Ia berdalih bahwa harus mengumpulkan seluruh komite. Lantaran kegunaan peruntukan uang SPP dan DPP banyak.
“Ya Ada, kalau mau di tanya semua ya harus ngumpulin komite, saya gak apal malahan. Tapi yang jelas di program di paparkan semua dengan jelas dalam rapat,” jawab Dasio.
Kembali ditanya apakah, tidak ada kebijakan sekolah untuk menurunkan nilai iuran sumbangan sekolah, dan merujuk pada sekolah lain yang membebankan SPP Rp 75.000,- dan DPP Rp150.000,- seperti di SMAN 1 Jati Angung Lampung Selatan ?
Dasiyo berkilah bahwa, hal tersebut tidak bisa dilakukan sekolah, lantaran sudah ada kesepakatan dalam rapat komite.
“Kebijakan setiap sekolah berbeda mas. Jadi jangan di samakan, pembiyaan iuran sumbangan ini untuk menjaga akreditasi B sekolah. Kebijakan ini juga sudah melalui rapat komite. Jadi gak bisa kita ngerubahnya. Mungkin kalau mas ngasih saran seperti itu, tahun depan bisa dirapatkan ulang,” kilahnya.
Sekolah ini, kalau cuma mengandalkan bantuan pemerintah saja tidak akan cukup. Kalau merubah kebijakan sekarang gak bisa mungkin nanti di wal tahun. “Toh itu sudah sesaui dalam rapat komite,” ucapnya membalas saran yang di berikan.
Bahkan, Dasiyo meminta menyampaikan pesannya kepada pemerintah yang memiliki kebijakan. Agar batuan yang diberikan sesuai kebutuhan sekolah.
“Sampaikan dengan yang punya kebijakan. Kami itu dapat bantuan, kemarin tiolet. Trakhir dari pemerintah itu aja. Rehap tahun berapa. Jadi jangan berpikir setiap tahun mesti dapat, enggak,” jelasnya.
Tambah dia, Satu kabupaten kemarin hanya 12 sekolah di 2019. Di 2020 ada 16 sekolah, itu pun paling hanya dapet 1 ruang. “Jadi kalau kita mau minta nunggu dapetnya cukup, ya gak akan cukup. Itu sudah kita paparkan di rapat komite,” terangnya.
Sementara jika merujuk pada website Ombusman RI, diterangkan bahwa yang dapat dilakukan oleh sekolah yang diselengharakan pemerintah dan/atau pemerintah daerah hanya menerima sumbangan yang di gunakan untuk memenuhi kekurangan biaya satuan pendidikan. Dan dimensi sumbangan dalam Permendikbud 44 tahun 2012 adalah bersifat sukarela. Tidak wajib, tidak memaksa tidak mengikat dan jumlah maupun jangka waktunya tidak di tentukan oleh pihk sekolah.
Artinya bentuk bentuk pungutan semacam uang komite uang pembangunan yang dibtentukan jumlah dan jangka waktu pembayaranya tidak boleh di lakukan.
DN penting juga untuk di pahami bersama, pembangunan fisik semisal ruang kelas, ruang ibadah dan kendaraan oprasional yang mendukung penyelenggaraan pendidika di sekolah bukan tanggung jawab peserta didik atau orang tua walinya.
Kepentingan tersebut merupakan kewajiban pemerintah dan atau pemerintah daerah. Sehingga realisasi pembangunan fisik penunjang penyelenggaraan kegiatan belajar harus di upayakan pihak sekolah dengan mengusulkan kepada pemerintah daerah atau Dinas Pendidikan.
Bila anggaran tidak memungkinkan merealisasikan pembangunan dalam jangka waktu yang singkat sedangkan kebutuhan sekolah mendesak. Pihak sekolah dapat mewacanakan kebutuhan tersebut kepada orang tua/wali peserta didik melalui komite sekolah.
Dan tetap yang boleh di lakukan adalah sumbangan bukan pungutan. Dimensi hukum pungutan dan sumbangan ini dalam hal memenuhi kekurangan biaya satuan pendidikan. Sehingga pungutan pungutan lain seperti uang titipan, uang kenang kenangan jelas merupakan perbuatan melawan hukum.
Dasiyo menyanggah, bahwa keterangan yang terdapat di Ombusman tidak bisa jadi dasar. Sekolah menerapkan SPP dan DPP berdasarkan PP 48/2008 dan permendikbud no.75/2016, di situ jelas gamblang.
“Jadi yang membedakan pungutan dengan sumbangan. Kalau pungutan memang kepala sekolah. Kalau sumbangan yang kelola Komite tidak terikat (bebas) berapa pun besarannya komite yang merealisasikannya kepala sekolah tinggal nerima. Tapi kalau pungutan yang bertanggung jawab kepala sekolah yang mengetahui,” bebernya.
Ia menambahkan, bahwa iuran sumbangan antara kelas X, XI, dan XII tidak sama. “Angkanya beda beda kelas X dikenakan biaya Rp 220.000,- sementara kelas XI Rp 190.000,- dan kelas XII Rp 180.000,” katanya. (Intai).