INTAILAMPUNG.COM – Ada cerita dibalik suksesnya produk yang dipasarkan sejumlah santri Pondok Pesantren Ikhya Birrul Walidaini. Desa Onoharjo, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Produk ini merupakan fokus usaha santri sendiri berupa berbagai produk makanan ringan popcron, makaroni, kripik dan garam.
Santri pun memasarkan sendiri berbagai produk unggulan pesantren, yang melibatkan santri dalam proses produksi dan pemasaranya. Pasalnya produk iniliah yang sukses bisa menopang biaya operasioanal santri ketika menimba ilmu.
Ibrahim Hayat, Humas Ponpes Ikhya Birrul Walidaini. menjelaskan, semua santri tidak dikenakan biaya untuk melalui masa pendidikannya. Sehingga santri diajarkan mandiri sejak dini.
“Sebab itu, kami berinisiatif untuk mengelola semua usaha di pesantren dan pengelolanya semua dari unsur santri,” beber Ibrahim.
Baca Juga
Menurutnya, hasil dari usaha pesantren ini sedikit-sedikit untuk membiayai kebutuhan sehari-hari santri.
“Kami memang fokus laba usaha untuk kegiatan dan kebutuhan santri. Laba tidak dikembangkan lagi untuk menambah omset, tetapi dikembangkan untuk kegiatan pengembangan santri. Jadi untuk omset tidak ditambah, hasil yang diperoleh untuk kegiatan belajar dan mengajar,” jelasnya.
Sementara untuk jenis-jenis makanan ringan di sini ada banyak peminatnya seperti popcorn, makaroni, kripik pisang, dan kripik singkong.
Ibrahim juga menjelaskan tantangan demi tantangan dalam berbisnis usaha makanan ringan di pesantren ini.
“Tatangannya kompetitor yang semakin banyak, pemasaran kami dengan sistem jaringan dengan sitem silaturahmi. Jadi membuat tim agen dan reseller. Ketika kami akan menambah agen atau reseler, kami datangi dengan menjalin silaturahmi, dengan harapan ikatan menjadi semakin kuat, dan tidak mudah pindah ke kompetitor,” tukasnya.
Ibrahim menuturkan, dengan adanya usaha yang dikelola santri mampu menopang kebutuhan santri sehari-hari, bahkan santri berinisiatif untuk memperbesar usahanya.
Dikatakanya, dari 300 santri yang ada, lebih dari 50 persen santri merupakan dari keluarga tidak mampu dan yatim-piatu, di ponpes mereka diajarkan mandiri sejak dini, dengan begitu diharapkan usai mondok mereka mampu bersaing dengan dunia luar dan berusaha sendiri.
“Kita tidak pernah membuat proposal ke pemerintah, perusahaan atau instansi manapun. Murni lewat usaha sendiri menopang kebutuhan sehari-hari, jadi dengan adanya usaha justru membantu, kalau tidak ada usaha kita tidak tahu harus dari mana memenuhinya,” sebutnya.
Menyikapi isu beredar mengenai pondok mempekerjakan anak dibawah umur, Ibrahim menyangkal hal itu, menurut dia anak-anak memang antusias ikut berpartisipasi dalam memasarkan produk ponpes. Sehingga berlomba-lomba ikut memasarkanya.
“Ya atas inisiatif mereka sendiri, jadi bukan kita pekerjakan seperti yang diberitakan beberapa media online, mereka produksi lalu memasarkanya sendiri untuk menopang kebutuhan mereka, salahnya dimana, masa harus kita larang anak-anak untuk usaha secara mandiri,” tukasnya.
“Kita tidak menutup diri atas kritik dari rekan-rekan media, namun perlu di ingat media pun harus menulis sesuai fakta jangan pernah beropini, harusnya menulis berita yang berimbang, bukan membuat berita tanpa konfirmasi,” katanya lagi.
Meski begitu Ibrahim mengaku pihak ponpes enggan memperkeruh suasana dan legowo atas kritik pada pemberitaan, “Yang jelas sudah kita ingatkan, santri yang dibawah umur kita larang berjualan,” tukasnya. (red)