
Oleh: Yusdiyanto
Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Adanya rencana pengosongan warga dari kawasan TNBBS tepatnya di Suoh dan Bandar Negeri Suoh (BNS) oleh Dandim 0422 Lampung Barat, Letkol Inf Rinto Wijaya dengan alasan penyelamatan warga upaya menyelamatkan manusianya, kawasan TNBBS dan harimau Sumatera tentu tidak dapat dibenarkan, justru dapat dikatakan sebagai tindakan yang refresif, abai pada prinsip Hak Asasi Manusia dan gagal menjalankan mandate konstitusi khususnya Pasal 28 UUD 1945 beserta ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan kekuatan aparat tanpa tanpa peduli dengan kepentingan masyarakat menandakan rezim refresif yang sudah ditanggalkan kembali dihidupkan kembali.
Dari sisi hukum international tindakan paksa oleh Aprat Pemerintah disebut sebagai “gross violation of human rights” (kategori: pelanggaran HAM Berat).
Perlu diingatkan, tindakan menggunakan kekuatan TNI sangat tidak selaras dan bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.
Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel. Dari pandangan tersebut memberikan makna bahwa TNI ada bersama rakyat bukan sebaliknya.
Walaupun Pasal 7 ayat (2) butir b angka 9 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, menyatakan bahwa TNI memiliki tugas pokok operasi militer selain perang untuk membantu tugas pemerintahan daerah, lingkup tugasnya hanya sebatas membantu mengatasi akibat bencana alam, merehabilitasi infrastruktur, serta mengatasi masalah akibat pemogokan dan konflik komunal. Bukan menginisasi atau mengancam masyarakat untuk dikosongkan dari kawasan hutan. Apakah tidak ada formula lain yang lebih bijak, humanis dengan melibatkan masyarakat.
Selain konstitusi, menurut peraturan perundangan penyelesaian konflik dikawasan hutan menurut UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengedepankan prinsip: keadilan dan kepastian hukum, keberlanjutan, tanggung jawab negara, partisipasi, tanggung gugat, prioritas dan keterpaduan.
Semestinya pola penyelesaian mengedepankan kegiatan terbangun melalui kemitraan konservasi sebagaimana yang telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Kemudian Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 14 Tahun 2023 Tentang Penyelesaian Usaha Dan/Atau Kegiatan Terbangun Di Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru menegaskan, khusus masyarakat yang melakukan perbuatan melawan hukum di hutan kawasan oleh masyarakat yang bermukim disekitar hutan, dikenakan sanksi administrasi (bukan pidana), dengan mengedepankan tindakan preventif dan selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Sementara di tempat lain, dapat dilihat keterlibatan masyarakat dalam kawasan hutan telah sukses merestorasi ekosistem berbasis masyarakat, hal ini menunjukkan bagaimana sekelompok pemangku kepentingan yang terlibat dalam aksi restorasi–seperti pengelola taman nasional, masyarakat dan penggiat lingkungan bersatu menjaga kawasan perlindungan secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi manusia, hewan dan alam.
Atas hal tersebut, kehendak tersebut bila tetap dilaksanakan maka sudah sewajarnya mendesak kepada pemerintah pusat-daerah, Panglima TNI, DPR-RI turun menyelesaikan hal tersebut secara humanis dan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.
Dapat direnungkan pengosongan secara paksa pada kenyataannya dapat menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah terlebih masyarakat yang terdampak mengalami serangkaian pelanggaran hak-hak dasar berupa: hak hidup, hak tempat tinggal, hak atas rasa aman, dan seterusnya.
Hutan sebagai salah satu karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara dan memberikan manfaat bagi umat manusia yang wajib disyukuri, dikelola, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. ***