image

INTAILAMPUNG.COM – Anak memilih putus sekolah karena tidak naik kelas. Hal tersebut dipicu akibat dampak psikologis anak yang mulai terganggu, lantaran merasa malu dengan kawan-kawannya, lingkungan sekolah dan keluarga.

Keputusan pihak sekolah yang memutuskan siswa tidak naik kelas dengan berbagai alasan, membuktikan bahwa pihak sekolah gagal dalam mendidik siswa yang berkarakter.

Lantas apa urgensi-nya sampai pihak sekolah tidak menaikan siswa-nya. ?

Apakah pihak pendidik (sekolah-red) tidak pernah berfikir jika dampak negatif dari putus sekolah sangat luas, seperti terbatasnya kesempatan kerja, penurunan status sosial, dan masalah psikologis pada sang anak.

Nampaknya, pihak sekolah tidak pernah berpikir, dampak dari anak tidak naik kelas.! Dan mempertimbangkan dampak psikologis akan terjadi terhadap sang anak.

Selain itu, dampak lain ketika siswa tinggal kelas juga dapat memberatkan secara ekonomi bagi orang tua anak.

Salah satu contoh, siswa di salah satu SMA Negeri terkemuka di Kabupaten Lamteng, dinyatakan tidak naik kelas oleh pihak sekolah, dengan berbagai alasan yang tidak bisa untuk memberikan kesempatan bagi sang anak naik ke kelas selanjutnya.

Sementara, hanya ada satu solusi yang diberikan pihak sekolah apabila ingin naik ke kelas. Sang siswa harus pindah dari sekolah, atau tetap bertahan dengan konsekuensi mengulang kembali di kelas yang lama.

Dari keterangan orang tua siswa menyebut, bahwa dirinya sudah berusaha menemui pihak sekolah untuk membicarakan hal ini, dan memohon ada solusi terbaik agar anaknya bisa naik ke kelas selanjutnya, dengan konsekuensi, siap menerima apapun bentuk perjanjian yang diberikan pihak sekolah.

“Tapi pihak sekolah tetap pada pendiriannya. Artinya apa yang diputus pihak sekolah sudah final. Bahkan sempat saya katakan, sang anak terpaksa putus sekolah, apabila harus pindah ke sekolah lain, dengan pertimbangan jarak yang lebih jauh, dan harus mengeluarkan dana yang lebih besar,” ujar orang tua siswa yang meminta identitasnya tidak dipublis, Jum’at (13/6/2025).

  Kapal Asing Dirampok di Perairan Lampung, Basarnas : WNA Dalam Kondisi Selamat

Yang lebih membuat saya terenyuh, lanjutnya, saat sang anak menyatakan dia tidak mau lagi bersekolah, dan akan pergi untuk mencari pekerjaan. Hal itu dikatakan sang anak, bentuk rasa bersalahnya kepada saya sebagai orang tua.

“Kata-kata yang di ucapkan anak saya itu membuat saya merasa sudah gagal dalam mendidik anak. Dan saya merasa tidak ada kesempatan yang diberikan pihak sekolah terhadap anak saya untuk bisa menyelesaikan pendidikannya yang tinggal satu tahap lagi,” ungkapnya.

“Tentunya, kami sebagai orang tua percaya menyerahkan anak-anak kami bersekolah dengan tujuan agar sang anak bisa lebih baik dari sebelumnya, baik dari segi karakter, akademis, maupun dari segi yang lain. Tetapi saat pihak sekolah tidak bisa membentuk karakter anak, secara tidak langsung, pihak sekolah dan orang tua siswa telah gagal membina sang anak agar bisa lebih baik,” keluhnya.

Dalam persoalan anak memilih putus sekolah, karena tidak naik kelas menjadi persoalan penting yang menjadi tanggung jawab kita semua, dan program pemerintah dalam mewujudkan merdeka belajar tanpa adanya siswa yang tinggal kelas perlu untuk kita pertanyakan.

Selain itu saat ini, pihak sekolah tanpaknya lebih mengutamakan pendidikan akademis, sementara pendidikan untuk membentuk karakter anak yang merupakan pondasi dari semua dasar pendidikan tampak terlupakan, atau bahkan sudah tidak ada lagi dalam kurikulum belajar.

Sementara faktor yang menyebabkan minimnya penanaman nilai-nilai karakter di kalangan siswa, seperti kurangnya perhatian dari pihak sekolah, yang lebih berfokus pada prestasi akademik, dan pengaruh media sosial yang negatif saat ini, dan berdampak pada rendahnya kesadaran siswa tentang pentingnya nilai-nilai moral.

Namun, ironi bila pihak sekolah merasa menyerah, dan gagal dalam membentuk karakter siswa, dan harus mengembalikan siswa kepada orang tua.

  Kejari Lampung Tengah Panggil Pelapor Yang Adukan Adanya Dugaan Pungli HUT RI di Tingkat Kecamatan

Keputusan tidak menaikkan siswa ke kelas selanjutnya, merupakan penerapan sanksi atas pelanggaran tata tertib sekolah yang sebelumnya sudah disepakati semua pihak, serta akumulasi poin pelanggaran tata tertib sekolah sudah melampaui ketentuan yang ada.

Akan tetapi, alur berpikir semacam itu tidak bisa dijadikan pembenaran dalam mengambil keputusan.

Hal ini menunjukkan bahwa pihak sekolah sedang terjebak pada kubangan pragmatisme sempit yang mengangkangi falsafah pendidikan sepanjang hayat, dan merdeka belajar sebagai hak anak bangsa.

Namun, pihak sekolah nampaknya tidak pernah berpikir, jika sang anak tidak naik kelas, dampak psikologis (kejiwaan anak) akan terganggu. Akhirnya anak memilih putus sekolah.

Sementara, pindah ke sekolah lain sebagai alternative naik kelas dapat memberatkan secara ekonomi bagi orang tua anak.(redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © INTAI LAMPUNG. All rights reserved. Terima kasih atas kunjungan Anda. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.