
Ket, Foto : Ketua LPA Lamteng Eko Yuwono.
INTAILAMPUNG.COM – Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lampung Tengah Eko Yuwono, menyoroti soal siswa di salah satu SMA Negeri di wilayahnya yang memutuskan berhenti sekolah, akibat tidak naik kelas.
“Dampak negative putus sekolah bagi anak, termasuk keterbatasan kesempatan pendidikan dan kesejahteraan anak di masa depan. Kami akan berupaya memastikan hak-hak anak terpenuhi, termasuk hak atas pendidikan dan pencegahan anak putus sekolah,” ujarnya, Sabtu (14/6/2025).
Ketua LPA Lamteng ini menyarankan pihak sekolah, untuk mencari solusi yang terbaik, karena sekolah itukan sifatnya pembinaan, tolong dikaji ulang terkait aturan yang menyangkut hal-hal seperti ini, agar aturan itu tidak baku, dan perlu direvisi, dan ikut dilibatkan pihak external sekolah, seperti LPA, Kepolisian, Tokoh Agama, dan Masyarakat. Agar saat aturan itu diterapkan, aturan itu menjadi keputusan bersama, dan itulah keputusan yang terbaik untuk siswa.
Sebab, menurutnya tinggal kelas bukanlah solusi, mengingat siswa tersebut tidak memiliki rekam jejak melanggar peraturan sekolah yang bersifat merugikan orang lain, atau pernah berbuat kriminal, artinya pelanggaran siswa itu hanya sekedar pelanggaran displin.
“Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, terkait tentang anak yang melanggar pidana dan perkaranya maju, tidak boleh di keluarkan sebelum keputusan ingkrah dari pengadilan. karena putusan hakim tidak selalu pidana penjara ada yang di kembalikan ke orang tua ada pembinaan di lembaga atau hukuman percobaan
Ironinya, tidak sedikit sekolah yang langsung mengeluarkan anak ketika bermasalah dengan hukum, jadi kesimpulanya sekolah harus Hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan yang di bungkus dengan keputusan rapat bersama wali kelas, dewan guru, dan manajemen sekolah, untuk mengambil keputusan mengembalikan anak ke orang tua atau anak tinggal kelas
“Dari keterangan orang tua siswa mengatakan bahwa dari keterangan pihak sekolah siswa tersebut tidak dinaik dikarenakan kerap tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Dimana dari hasil rapat dengan Dewan Guru dan manajemen sekolah memutuskan terjaring (tinggal kelas) karena salah satu dari poin kriteria itu anak ini terjaring karena ketidakhadiran tanpa keterangan selama 30 hari,” ungkapnya.
Eko Yuwono, menerangkan bahwa, absensi masuk dalam kategori disiplin siswa di sekolah. Dan itu merupakan salah satu karakter, contohnya sering telat, tidak masuk sekolah, tidak mengerjakan PR. artinya pihak sekolah harus lebih fokus lagi membina karakter siswa itu, agar terbentuk kesadaran dalam diri siswa bahwa disiplin merupakan dasar dari segala pelajaran di sekolah.
“Termasuk sopan santun, adab, dan pola pikir siswa, itu semua dari bagaimana pihak sekolah membentuk karakter siswa, karena tiap siswa memiliki karakter yang berbeda-beda. Seharusnya pihak sekolah menanyakan kepada siswa apa alasan dirinya kerap tidak masuk sekolah, di sekolahkan ada guru yang khusus membidangi soal kenakalan anak, dan membina karakter anak,” tukasnya.
Dalam hal ini, saya tidak menyalahkan pihak sekolah, dan tidak juga membenarkan siswa tersebut, akan tetapi dalam hal ini LPA Lamteng, hanya memberikan saran masukan yang terbaik kepada kedua belah pihak, agar persoalan seperti ini tidak menjadi polemik yang lebih besar.
“Tentunya dengan saran naik kelas tapi dengan persyaratan, atau kalau zaman kita dulu naik percobaan. Karena kalau pun harus tinggal kelas, saya rasa itu bukan solusi. Dan dampaknya akan membebani orang tua siswa, apa lagi di tengah himpitan ekonomi seperti sekarang ini,” kata Eko.
Oleh sebab itu, LPA Lamteng, mendorong Dinas Pendidikan dan Kepala SMA Negeri terkait mencari solusi terbaik, soal siswa yang tidak naik kelas ini, tetap naik kelas tanpa menyalahi aturan.
“Artinya kita tidak mengintervensi pihak mana pun, tetapi alangkah baiknya ada solusi yang baik, jadi kalau bisa siswa tersebut tetap dinaiki tapi jangan menyalahi aturan,” harapnya.
Anak diusia menginjak remaja itu tentunya sedang mencari jati diri. Dan dengan tinggal kelas pasti akan berdampak psikologis bagi diri anak, ada rasa bersalah terhadap orang tua, ada rasa malu terhadap kawan-kawannya, bahkan akan menjadi bulan-bulanan bullying kawan-kawannya di sekolah.
Sementara solusi yang ditawarkan pihak sekolah, naik kelas dengan konsekuensi pindah sekolah bukan satu solusi terbaik.
“Apakah pihak sekolah bisa menjamin sekolah lain bisa menerima, atau ada ruang buat siswa bila pindah ke sekolah lain. Selain itu, dengan pindah ke sekolah lain, tentunya akan menambah beban orang tua anak, artinyakan pihak sekolah harus mempertimbangkan hal itu,” pungkasnya. (rki)